Cerita Rakyat Riau - Batu Rantai, Temasik Dilanda Todak
Dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik
diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam
dan angkuh. Suatu ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga
sebagai pedagang dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu
tidak bersalah, ia secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri
Raja. Namun, sang Raja yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa
mencegahnya untuk menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan
pengawal istana untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.
Namun, sebelum hukuman mati itu dilaksanakan, sang
Ulama berpesan kepada penduduk Temasik. "Wahai kalian penduduk Temasik!
Ketahuilah! Aku rela dengan kematian ini! Tetapi raja yang zalim itu tak akan
lepas begitu saja. Dia akan membayar harga atas kezaliman itu...Dan percayalah
di negeri ini akan terjadi huru-hara! Negeri ini akan ditimpa malapetaka yang
sangat dahsyat....!!!". Selesai menyampaikan pesan, sang Ulama pun dihukum
mati. Dadanya ditusuk sebila keris oleh pengawal istana hingga tersungkur tak berdaya.
Sesaat setelah sang Ulama dihukum, terjadilah sebuah peristiwa gaib. Pada saat
jenazah sang Ulama dibawa ke pemakaman, tiba-tiba mayatnya menghilang. Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba petir menyambar dan menggemparkan negeri Temasik, lalu
disusul dentuman suara keras. Penduduk Temasik kemudian berlari menyelamatkan
diri dan pergi ke tempat di mana sang Ulama dihukum. Suasana Temasik semakin
gempar setelah penduduk menemukan bekas darah sang Ulama di tempat kejadian itu
berubah menjadi batu.
Peristiwa gaib di atas adalah pertanda akan datangnya
malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari, tiba-tiba Temasik
diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan yang berparuh panjang,
runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke pelosok desa di sekitar
pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan itu. Namun, musibah tak
terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara mengerikan. Tak lama
kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang Raja. Dengan cepat,
sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana menyediakan seekor gajah
tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya di pantai, sang Raja
menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian memerintahkan
pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun upaya itu justru
membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari, penduduk yang mati
dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah. Penduduk yang
terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.
Meskipun banyak penduduk yang menjadi korban keganasan
ikan Todak tersebut, namun tak seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu
tanpa titah sang Raja. Penduduk tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat
pagar betis. Rintihan penduduk yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja
yang sangat kejam itu. Sang Raja justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri
Temasik untuk bersembunyi. Pada saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia
diserang oleh seekor ikan Todak. Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja
tersambar paruh ikan Todak. Sang Raja amat cemas dan menggigil ketakutan.
“Tolooong...! Tolooong...! Bajuku robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi,
jeritan tersebut tak ada yang menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang
Raja untuk menolongnya.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak
laki-laki kecil menghampiri sang Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis
dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan Todak tidak
dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu mengingatkan. Mendengar suara anak kecil
yang datang tiba-tiba itu, sang Raja segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah
engkau ini, dari mana asalmu hingga beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang
Raja dengan nada kesal.
Dengan santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya:
“Ampun, wahai Baginda Raja, hamba bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan
Penaungan,” jelas Kabil seraya menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan
hamba mengenal sifat ikan Todak. Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan
betis manusia, melainkan dengan batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan,
hamba mohon agar Temasik dipagari dengan batang pisang,” kata Kabil setengah
memohon.
“Batang pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan
heran. “Jika kita menggunakan batang pisang sebagai perisai di sepanjang
pantai, maka paruh ikan Todak itu akan tertancap pada batang pisang. Pada saat
itulah, para penduduk menggunakan kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak
itu,” jelas Kabil pada sang Raja. Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah
kepada panglima dan rakyatnya, “Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian,
angkutlah batang pisang sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan
batang pisang!” Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang
ada di tempat kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang.
Setelah mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak
lama kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan
Todak yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga
menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya dan
kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas
dari malapetaka. Sebagai tanda berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun
ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun, di tengah suasana gembira tersebut, para
pembesar istana justru berpikir lain. Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak
kecil itu akan merampas negeri Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana
menghadap sang Raja. “Ampun, Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan,
tidak mustahil suatu hari anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri
Temasik ini,” kata salah satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda,
selagi kecil dia sudah pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi
sudah besar kelak,” tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi
kalian harus ingat, si Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya
jauh-jauh, dia pasti akan kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan
saja anak itu ke dalam kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu
tenggelamkan di tengah laut,” titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian
dimasukkan ke dalam kurungan baja, dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu
dinaikan ke atas perahu. Dengan dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana,
berangkatlah mereka ke perairan Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan
ditenggelamkan. Tak berapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun
Baginda Raja! Kita sudah sampai di Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor
seorang pengawal kepada Raja. “Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang
Raja. Namun, sebelum ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja.
“Beginikah balasan Baginda Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang
lebih baik untuk menghindari kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela
mati muda,” ratap Kabil dari dalam kurungan.
Sang Raja hanya bergeming mendengar ratapan Kabil.
Setelah itu diperintahkannya pengawal istana untuk segera menenggelamkan
kurungan yang berisi Kabil itu. “Byuuurr....byuuurr....byuuur....” terdengar
bunyi suara air ketika kurungan diceburkan ke dalam laut di karang Kepala
Sambu. Tak lama kemudian, Kabil pun mati dalam keadaan yang mengenaskan,
setelah ia baru saja berjasa menyelamatkan nyawa penduduk negeri Temasik.
Sejak peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini,
suara pusar arus mendesah, “Byuuurr ... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan
perasaan sedih yang menyayat. Ombak yang bertemu arus pasang sangatlah ganas,
seperti orang yang meronta-ronta. Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda
kapal yang melintasi gugusan pulau tersebut selalu menghindari karang berbahaya
di perairan Sambu ini untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan
Legenda Batu Rantai ini berada di antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di
perairan Riau, Indonesia.
Sumber : ceritarakyattelo
0 komentar:
Posting Komentar