Cerita Rakyat Riau - Batang Tuaka
Pada zaman dahulu di daerah Indragiri Riau, hiduplah
seorang wanita bersama anak laki-lakinya yang bernama Tuaka. Mereka hidup di
sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai. Ayah Tuaka telah lama
meninggal. Mereka saling menyayangi. Tuaka selalu membantu emaknya yang bekerja
keras untuk penghidupan mereka.
Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar
bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka
melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan
mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang
memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan
satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha
menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan
menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu
ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran
dan mengamati permata itu dengan kagum.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya
Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita.
Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,”
jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.
Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi
kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang
dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah
berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).
Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang
kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung
halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya
raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi
dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.
Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan
kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung
halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka
tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang
miskin.
Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke
telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang
lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak
dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin
datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari
kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,”
teriak Tuaka.
Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan…
ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar
menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak
Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor
burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah
menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.
Burung elang dan burung punai itu pun terus
berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu
terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar.
Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu
siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik
atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan
Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Sumber : harianriau
0 komentar:
Posting Komentar