Cerita Rakyat Riau - Si Bujang ( Asal Mula Burung Punai )
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan,
Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang
bernama Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya
sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa
kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi
luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya
telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk
mendidik si Bujang. Setiap hari sang
Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di
sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan
berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau
merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia
tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan
berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa
diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan
Bujang.
Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan
berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas.
Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka
itu.
Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah
surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi
mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya
dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu
pulang ia dijemput oleh emaknya.
Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut
dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak
orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat
anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan,
anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang.
Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan
teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya
mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru
mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati
kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya
itu.
Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru
pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan
pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan
pertanyaan-pertanyaan, “Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke
surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu
tidak jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing?”
Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk.
Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran
ayahnya. “Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu
lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak
pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing?” ujar sang
ayah.
Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani
membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan
kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang
tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika
ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari
yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan
mengatakan, “kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.”
Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya
sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan
anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya, “Barangkali
inilah resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin
dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan
saja, tidak usah kita hiraukan.” Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun
mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang.
Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia
sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi
mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan
harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua
orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin
hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi
memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.
Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya
memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua
orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh
karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing.
Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa
kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Tumbuh bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu
bulu tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah
seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.
Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor
Burung Punai. Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap,
kemudian ia terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang
tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon
kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik
menyiangi rumput. Ia pun bernyanyi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu,
ibu Bujang berkata kepada suaminya, “Bang, coba dengarkan suara burung yang
bernyanyi di atas pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang.” Ayah Bujang
langsung berdiri dan menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya
telinganya baik-baik untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara
anaknya.
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah
Bujang pun yakin bahwa itu adalah suara Bujang. “Benar, Adikku! Itu suara anak
kita,” kata sang Ayah dengan yakin.
Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang. “Nak,
kemarilah! Ini nasi… !” Dari atas pohon kayu ara itu, burung punai itu
menjawab, “Tidak, Emak…! Saya sudah menjadi Burung Punai. Saya makan buah kayu
ara.” Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan buah ara dari
satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat nasib anaknya itu.
Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu hinggap. Ketika
pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang lain. Kemudian ia
bernyanyi lagi.
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
“Kemarilah, anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu!”
bujuk emaknya agar si Bujang yang telah menjadi Burung Punai itu mau mendekat.
“Tidak, Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara,” jawab
Burung Punai itu menolak ajakan emaknya.
Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah
Bujang menebang pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang,
Burung Punai itu terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi
dengan nada dan lagu yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang
pohon tempat ia hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan
kemudian benyanyi.
Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan
ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah habis.
Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena sudah
berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di dalam
hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai
selama-lamanya.
Sumber : klipingkitaterbaik
0 komentar:
Posting Komentar