Diberdayakan oleh Blogger.

Cerita Rakyat Riau - Suak Air Mengubuk



Zaman dahulu kala, di negeri Rantau Baru, Pelalawan, Riau hiduplah sepasang suami istri nelayan yang miskin. Mereka mengantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan. Ketika tiba masa-masa sulit mendapatkan ikan, mereka tidak bisa makan.

Pada suatu malam. Pak nelayan bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Kakek itu memberikan seutas tali. Ia juga berpesan agar bersampan ke sebuah suak atau mata air yang berada di sekitar Sungai Sepunjung.

Esoknya, Si Nelayan mengayuh sampan ke arah Sungai Sepunjung dan berharap bernasib baik. Sesampainya di suak, ia pun berhenti dan menunggu.

Tiba-tiba, muncul seutas tali dari dalam suak. Ditariknya tali itu. Ia sangat terkejut ketika menyadari tali yang berkilau diterpa sinar matahari itu adalah rantai emas tiga keluk (lengkung).

Dengan penuh semangat, ia menarik tali itu. Tiba-tiba, terdengar suara burung murai berkicau. "Cepat potong rantai itu. Bagianmu hanyalah tiga keluk itu!"

Namun, si Nelayan telah dipenuhi nafsu serakah dan tidak mendengarkan kicau burung murai tersebut. Ia terus menarik tali itu dengan harapan mendapat emas yang lebih banyak lagi. Namun, tali yang ditariknya tersebut lama - kelamaan menjadi berat.
Tiba-tiba saja, dari dalam suak, muncullah gelembung-gelembung air dan gelombang, disusul suara gemuruh dari dalam air. Gelombang tersebut menjadi sangat besar dan menghempaskan sampan Si Nelayan terlempar dari sampan.

Si Nelayan berusaha berenang menuju tepi sungai menghadang arus dan gelombang yang semakin besar. Sampannya telah tenggelam. Saat berhasil sampai ke tepi sungai tiba-tiba saja air sungai menjadi tenang. Si Nelayan pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Malamnya, ia bermimpi bertemu lagi dengan kakek itu lagi. Si Kakek memperingatinya.

"Kalau bersyukur dengan mengambil tiga keluk rantai emas itu saja, itu akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki hidupmu! Aku telah mengingatkanmu lewat kicauan burung murai itu, bukan?"

"Maafkan aku, Kek..... Berikanlah aku kesempatan sekali lagi," kata si Nelayan tersebut penuh harap.

"Semua sudah terlambat, anakku. Ketamakan mencelakakanmu," kata si Kakek, lalu menghilang lagi. Keesokan paginya, si Nelayan kembali ke tempat ia menemukan tali rantai emas.

Ia menunggu hingga malam. Namun, benda itu tidak muncul - muncul. Ia sangat menyesali keserakahannya, tetapi semuanya sudah tidak berguna.


Sumber : alkisahrakyat


Cerita Rakyat Riau - Si Miskin Yang Tamak



Alkisah di Riau pada jaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka hidup serba kekurangan karena penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Jangankan untuk membeli lauk pauk, untuk mendapatkan beras pun kadang-kadang harus berhutang pada tetangga. Hidup mereka benar-benar memprihatinkan.

Suatu hari pak Miskin bermimpi. Seorang kakek datang menemuinya dan memberikannya seutas tali.

“Hai Miskin! Besok pergilah merakit dan carilah sebuah mata air di sungai Sepunjung!” Kata si kakek yang kemudian menghilang.

Pak Miskin terbangun dengan bingung. “Aah, mimpi apa aku tadi? Kenapa kakek tadi menyuruhku pergi merakit?” Kata pak Miskin dalam hati.

Hari masih pagi, akhirnya pak Miskin memutuskan untuk mengikuti pesan si kakek.
“Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu aku mendapatkan keberuntungan,” pikir pak Miskin.

Maka pergilah ia dengan menggunakan perahu satu-satunya. Dia terus mendayung di sepanjang sungai sambil mencari mata air yang dimaksud si kakek dalam mimpinya. Tidak berapa lama dilihatnya riakan air di pinggir sungai pertanda bahwa di bawah sungai itu terdapat mata air.

“Hmmm, mungkin ini mata air yang dimaksud,” pikir pak Miskin.

Dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari si kakek dalam mimpinya. Namun hingga lelah lehernya, si kakek tidak juga kelihatan.

Ketika dia sudah mulai tidak sabar, tiba-tiba muncullah seutas tali di samping perahunya. Tanpa pikir panjang ditariknya tali tersebut. Ternyata di ujung tali itu terikat rantai yang terbuat dari emas. Alangkah senangnya pak Miskin. Cepat-cepat ditariknya rantai itu.

“Oh, ternyata benar, ini adalah hari keberuntunganku. Dengan emas ini aku akan kaya!” Kata pak Miskin dengan gembira.

Dia menarik rantai itu dengan sekuat tenaga dan mengumpulkan rantai tersebut di atas perahunya. Tiba-tiba terdengar kicau seekor burung dari atas pohon.

“Cepatlah potong tali itu dan kembalilah pulang!”

Namun karena terlalu gembira, pak Miskin tidak mengindahkan kicauan burung itu. Dia terus menarik rantai emas itu hingga perahunya tidak kuat lagi menahan bebannya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian perahu itu miring dan kemudian terbalik bersama pak Miskin yang masih memegang rantai emasnya.

Rantai emas yang berat itu menarik tubuh pak Miskin hingga terseret ke dalam sungai. Pak Miskin berusaha menarik rantai itu. Namun rantai itu malah melilitnya dan menyeretnya semakin dalam.

Pak Miskin yang kehabisan udara, gelagapan di dalam air. Dengan susah payah dia melepaskan diri dan kembali ke permukaan. Dengan nafas tersengal-sengal dilihatnya harta karunnya yang tenggelam ke dalam sungai. Dalam hati dia menyesal atas kebodohannya. Seandainya dia tidak terlalu serakah pasti kini hidupnya sudah berubah. Tapia apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dan pak Miskin pun pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.


Sumber : pendongeng

Cerita Rakyat - Si Lancang


Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar, Riau, pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai petani.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.

Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.

Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.

Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.

Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.

Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, “Engkau Lancang … anakku! Oh … betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, “mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini.”

Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, “ya Tuhanku … hukumlah si Anak durhaka itu.”

Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.


Sumber : klipingkitaterbaik

Cerita Rakyat Riau - Putri Tujuh ( Asal Mula Nama Kota Dumai )



Alkisah dahulu kala terdapatlah sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang ratu yang sangat cantik, pintar dan bijaksana yang bernama Ratu Cik Sima. Sang ratu memiliki tujuh orang putri yang juga tak kalah cantiknya. Namun yang paling cantik adalah putri bungsu yang bernama Mayang Sari. Kecantikan Mayang Sari telah terkenal ke seantero negeri, bahkan penduduk kerajaan tersebut menyebutkan dengan panggilan Mayang Mengurai.

Itu adalah sebutan untuk seorang gadis yang sangat cantik. Mayang berarti bunga pohon pinang. Bunga ini sangat elegan, indah, terlihat menawan namun juga kuat. Sedangkan mengurai diartikan sebagai mekar atau terbuka. Ketika Mayang sedang mengurai sungguh betapa indah dan elok kelihatannya. Oleh karena itu, bunga pinang itu sangat banyak manfaatnya dan sering digunakan untuk hiasan-hiasan acara pesta atau pernikahan.

Mayang berarti bunga pohon pinang. Bunga ini sangat elegan, indah, terlihat menawan namun juga kuat.

Meskipun begitu, ketujuh putri ratu Cik Sima hidup rukun dan tentram di istana kerajaan.

Pada suatu hari, ketujuh putri ratu berjalan-jalan menikmati udara di luar istana kerajaan. Setelah seharian melihat pemandangan alam yang indah, ketujuh putri ratu sampailah di sebuah danau yang terkenal dengan nama Lubuk Sarang Umai. Air danau yang jernih dan segar sungguh sayang untuk tidak dinikmati, begitulah pikiran mereka kala itu.

Tak membuang waktu, mereka pun menceburkan diri ke danau, mandi dan bermain air dengan riang. Ketika sedang asyik bermain air, tanpa mereka sadari seorang pangeran dan pengawalnya dari kerajaan tetangga melewati tempat tersebut. Pangeran pun diam-diam menyaksika ketujuh putri yang sedang bercengkrama dan bercanda dengan senangnya.

Pangeran yang ternyata berasal dari kerajaan Empang Kuala itu sangat terpesona melihat kecantikan ketujuh putri Ratu Cik Sima. Namun kecantikan Mayang Sari atau Mayang Mengurai, si putri bungsu telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tanpa sadar sang pangeran berucap, “Siapa gadis cantik di lubuk umai itu? Ia telah membuatku jatuh hati. Ya! Gadis cantik di Umai. Cantik d’Umai!” Kata-kata tersebut terus diulangnya berkali-kali. Sehingga kata di Umai terdengar seperti Dumai. Konon karena itulah kemudian daerah tempat ketujuh putri tersebut mandi dinamakan dengan Dumai, hingga saat ini menjadi Kota Dumai.

Kemudian seorang pengawal pangeran berbisik bahwa mereka adalah Putri-Putri Ratu Cik Sima dan Kerajaan Seri Bunga Tanjung. “Namun menurut penduduk di sini, yang paling cantik adalah Mayang Mengurai, putri paling bungsu,” bisik seorang pangawal pangeran.

Setelah mengalami peristiwa tersebut, pangeran tidak dapat menghilangkan bayangan Putri Mayang Mengurai dari pikirannya. Pangeran pun kemudian mengutus pengawalnya untuk melamar putri bungsu ratu Cik Sima tersebut.

Berangkatlah pengawal pangeran ke kerajan Seri Bunga Tanjung membawa tepak sirih dengan tujuh buah combol berbagai ukuran sebagai tanda kebesaran kerajaan Empang Kuala. Tepak sirih adalah tempat khusus untuk meletakkan sirih sesuai dengan adat melayu. Terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran, ada yang bulat, persegi empat atau belah ketupat. Biasanya terbuat dari kayu atau tembaga. Sedangkan Combol adalah seperangkat peralatan makan sirih yang terdapat di dalam tepak sirih. Combol umumnya berbentuk bulat dengan berbagai ukuran, mulai dari yang besar, sedang hingga kecil. Di dalam combol inilah biasanya diletakkan pinang, gambir, kapur, tembakau dan aneka perlengkapan lainnya untuk memakan sirih.

Tidak lama kemudian sampailah pengawal pangeran di Istana Ratu Cik Sima. Sang ratupun menyambut utusan pangeran dengan senang hati dan tangan terbuka.
Sebagai seorang ratu yang sangat menjunjung adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung, ratupun mengisi combol yang terdapat di tepak sirih utusan kerajaan Empang Kuala dengan pinang dan gambir. Ratu Cik Sima meletakkan pinang dan gambir di combol yang paling besar. Sementara keenam combol lainnya dibiarkan kosong. Itu artinya Ratu Cik Sima telah menjawab pinangan sang pangeran Empang Kuala, bahwa putri tertualah yang berhak mendapatkan pinangan terlebih dahulu. Sekalipun Ratu Cik Sima tahu bahwa pangeran menginginkan putri bungsunya.

Kemudian utusan pangeran Empang Kuala kembali ke kerajaan menyampaikan hasil pinangan tersebut kepada sang pangeran. Ketika melihat sendiri bahwa combol paling besarlah yang diisi pinang dan gambir, sementara yang lainny dibiarkan kosong, mengertilah pangeran bahwa lamarannya terhadap Putri Mayang Sari ditolak oleh sang ratu. Pangeran yang tidak dapat menerima penolakan tersebut sangat marah dan merasa malu. Hingga tak peduli akan adat istiadat yang berlaku pada waktu itu, ia mencanangkan perang terhadap kerajaan Seri Bunga Tanjung.

Selang beberapa hari terjadilah pertumpahan darah dari kedua kerajaan yang berada di pinggi Selat Melaka tersebut. Ketidakseimbangan kekuatan menyebabkan Kerajaan Seri Bunga Tanjung terpukul mundur. Banyak rakyat yang tewas dari kerajaan tersebut. Namun perang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Demi menyelamatkan ketujuh putrinya, Ratu Cik Sima melarikan mereka ke dalam sebuah hutan. Di sana ratu menyembunyikan ketujuh putrinya di sebuah lubang yang tertutup dengan pepohonan. Untuk memenuhi kebutuhan ketujuh putri yang dicintainya, Ratu Cik Sima melengkapi mereka dengan perbekalan makanan untuk tiga bulan.

Selajutnya Ratu Cik Sima kembali kekerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu sangat miris melihat kondisi kerajaannya yang luluh lantak tidak berdaya. Kala itu juga, Ratu segera menemui jin pertapa di bukit hulu sungai Umai untuk meminta bantuannya menghadapi serangan Kerajaan Empang Kuala.

Bukit tempat Ratu Cik Sima meminta bantuan jin tersebut kemudian diberi nama Bukit Jin. Saat ini Bukit Jin menjadi nama daerah tersendiri di Dumai.

Hingga suatu sore, peperangan telah memasuki bulan keempat. Para prajurit Kerajaan Empang Kuala sedang beristirahat di hilir sungai Umai usai berperang. Mereka membuat tempat peristirahatan di bawah pohon bakau yang berbuah lebat. Menjelang tengah malam, suasana yang tadinya tenang mendadak menjadi sangat riuh dan penuh dengan jerit kesakitan. Pasukan Kerajaan Empang Kuala secara tiba-tiba diserang oleh ribuan buah bakau yang menusuk tajam ke badan para prajurit. Tak sampai separuh malam kerajaan Empang Kuala telah dapat dilumpuhkan.

Di tengah suasana yang tidak berdaya tersebut, pasukan Kerajaan Empang Kuala didatangi oleh utusan Ratu Cik Sima. “Wahai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya pangeran Empang Kuala dengan meringis. Menahan sakit.

“Kedatangan kami untuk menyampaikan pesan dari Ratu Cik Sima agar pangeran menghentikan peperangan ini. Sebab perbuatan pangeran telah merusak ketentraman pesisir Seri Bunga Tanjung,” utusan Ratu Cik Sima menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Pangeran yang kesakitan tidak bergeming menanggapi maksud kedatangan utusan ratu Cik Sima. Takut pangeran tidak ingin menuruti permintaan ratunya, utusan kerajaan Seri Bunga Tanjung kembali bicara.

“Peperangan ini telah menyakiti Bumi Sakti Rantau Bertuah kita. Dan, sudah menjadi rahasia kita bersama, bahwa bagi siapa yang datang ke negeri Seri Bunga Tanjung dengan niat buruk akan mendapatkan malapetaka. Sebaliknya, yang datang dengan niat baik akan sejahteralah hidupnya.”

Mendengar itu, sadarlah pangeran bahwa peperangan tersebut bermula dari ambisi dan keegoisannya. Kemarahanlah yang menimbulkan niat buruk pangeran untuk menghancurkan Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pangeran pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Kerajaan Empang Kuala dan menyatakan Ratu Cik Sima sebagai pemenang perang.

Keesokan harinya Ratu Cik Sima bergegas menuju hutan tempat persembunyian ketujuh putrinya. Namun alangkah kecewa dan sedihnya hati Ratu Cik Sima karena ketujuh putrinya ditemukan sudah tidak bernyawa. Ketujuh putri tersebut meninggal karena kelaparan dan kehausan. Bekal yang ditinggalkan untuk ketujuh putri tersebut hanya cukup untuk tiga bulan sementara perang berlangsung selama empat bulan. Akhirnya, karena terlalu sedih akan kehilangan ketujuh putrinya, Ratu Cik Sima jatuh sakit kemudian meninggal dunia.


Sumber : driau

Cerita Rakyat Riau - Putri Pinang Masak



Kicau burung saling bersahutan, berlompatan dan berkejar-kejaran dari dahan ke dahan. Embun masih membasahi dedaunan. Kabut  menyelimuti perbukitan desa. Sang surya malu-malu untuk menampakan wajah. Gemercik air yang mengalir ke ulu, menabrak bebatuan sungai merangkaikan nada alam. Dari dalam rumah panggung yang berukir khas Palembang, tampak seorang gadis bernama Napisah sedang memandang keindahan sandiwara alam dari balik jendela. Setiap pagi seolah alam menyambut Napisah dengan orchestra penyambutan bak seorang bidadari khayangan yang akan turun ke bumi.

Napisah Putri nan cantik jelita bergelar putri pinang masak. Kecatikannya tak tergambarkan dengan kata-kata. Bahkan tak ada perbandingan yang bisa menggambarkan kecantikannya. Kecantikan Napisah tak ada tandingannya diseluruh kerajaan Palembang. Setiap yang memandang, hanya akan berdecak kagum dan tak mampu berkata-kata sehingga Kecantikan Napisah menjadi buah bibir pemuda kerjaan di penjuru negeri.

“Apa kau melihat putri Napisah?” Tanya juru tepak kepada juru pedang.
“Tuan putri beberapa hari ini suka mengurung diri di kamar, entah apa yang dipikirkannya, terkadang dari pagi sampai siang dia tak ke luar kamar.”
“Iya, aku rindu bermain-main lagi bersama putri, mandi bersama di sungai. Memetik sayur dan buah di hutan.”
“Sepertinya tuan putri lagi dirundung masalah, keceriaan tuan putri hilang walaupun setiap pagi alam menghiburnya.”
“Hei kalian disini rupanya!, dari tadi aku mencari kalian. Ayo kita ke kamar tuan putri.” Sergah juru payung.
“Nanti dulu, jangan buru-buru ke kamar tuan putri, nanti malah putri  tak mau di   ganggu seperti kemarin.” Jawab juru tepak dengan gundah.
“Bagaimana kalau kita menghiburnya, kita ajak tuan putri jalan-jalan biar tuan putri melihat cerahnya pagi” sentak juru pedang.

“Baiklah kalau begitu ayo kita ke kamar tuan putri,” juru payung mengambil inisiatif.
Ketiga pengawal setia tuan putri ikut merasakan apa yang dirasakan putri. Mereka telah menyatu dalam perasaan Putri. Mereka rela melakukan apa saja agar tuan putri bahagia. Bahkan nyawapun mereka pertaruhkan untuk putri. Begitulah kesetiaan pengawal dan pembantu Napisah, putri pinang masak.
“Masuklah kalian jangan mengintip dari balik pintu kamar, seperti orang yang ingin mencuri saja,” suara nan lembut keluar dari mulut putri pinang masak.

“Ampun tuan putri, maafkan kelancangan kami, melihat tuan putri selalu di kamar kami jadi bersedih, apa lagi akhir-akhir ini tuan putri lebih banyak diam. Bagaimana kalu kita bermain di taman sambil pergi ke hutan memetik sayur dan buah, lalu bermain air di sungai,” juru payung mencoba membujuk dengan segala cara, sambil memijit dan membelai rambut Putri.  Sedangkan juru pedang mencoba menghibur dengan bernyanyi.  Juru tepak memijat pundak putri dengan kasih sayang.
Rayu dan bujukan pengawal dan juru tepak, serta juru payung berhasil. Putri tersenyum lembut dalam gundah yang masih bergelayutan.

 “ Juru payung, kita sebagai perempuan haruslah mempunyai pendirian hati yang teguh agar kita tidak diperlakukan semena-mena. Tetapi kadang aku berpikir bahwa perempuan tetaplah perempuan yang selalu bertindak atas dasar perasaan. Sekuat apapun perempuan memang sudah kodrat selalu di jajah lelaki. Sehingga dalam melawan kesedihan perempuan hanya bisa meneteskan air mata. Tetapi aku mencoba tidak akan meneteskan air mata dalam dunia ini, mudah-mudan ini hanya kecemasanku.” di bawah pohon putri duduk sambil mengadap ke sungai yang mengalir jernih.

“Mengapa putri berbicara seperti itu? Apa maksud tuan putri? Apa ada kesalahan yang kami lakukan sehingga membuat putri berpikir seperti ini. Ampun beribu-ribu ampun jikalau perbuatan kami menyinggung perasaan tuan putri.” Suasana mulai mengaharu. Putri pinang masak mencoba memberikan pengertian kepada pengawalnya.
Tanpa diketahui oleh putri dan pengawalnya,  beberapa pemuda sejak tadi mengintai  dan memperhatikan putri pinang masak dari balik semak-semak hutan. Mata pemuda-pemuda terbelalak melihat kecantikan putri pinang masak. Tertegun dan terdiam sembari menelan air liur.
“Waw..luar biasa! Sungguh keindahan yang tiada tara!” tidak sia-sia kita di tugaskan Sunan untuk berburu ke hutan seberang.

“Hussss…! Jangan berisik, jangan sampai keberadaan kita diketahui oleh mereka.”
“aku sangat yakin dialah Putri Pinang Masak yang menjadi buah bibir pemuda seantero negeri ini.”
“benar sekali, Sunan pasti tidak akan marah apabila kita pulang ke kekerajaan  tidak membawa binatang buruan untuk makan malam beliau, tetapi kita akan membawa kabar berita yang pasti akan membahagikan Sunan!”

“hahahahahaha….betul sekali!”

Sampailah kabar kecantikan dan kemolekan putri pinang masak ke telinga Sunan. Sunan tak henti-hentinya mebayangkan putri pinang masak. Sejak kabar tentang putri pinang masak ia terima dari pengawalnya. Hari-hari Sunan diliputi rasa rindu yang mendalam. Bahkan rasa itu tak terbendung lagi bagai ombak yang siap menghantap dinding karang. Timbulah hasrat hati Sunan untuk membuktikan kebenaran akan kabar yang diterimanya. Sunan berkeingan untuk menjadikan putri pinang masak sebagai gundiknya yang kesepuluh. Di ruang sidang kerajaan sunan mengumpulkan prajuritnya. Didampingi kesembilan gundiknya untuk menyampaikan maksud.

“Prajurit! Sejak kabar tentang putri pinang masak yang kau sampaikan padaku, aku jadi tidak tenang dalam keseharian. Semua pikiranku tertuju pada kecantikan dan kemolekan putri pinang masak. Aku sudah tidak tahan lagi menerima siksaan ini. Kuperintahkan kalian untuk membawa putri pinang masak ke kerajaan ini. Bagaimanapun caranya kalian harus membawanya kehadapanku, Cepaaaaaaaaaaat, kalau sampai misi ini gagal kepala kalian yang kupenggal!” hardik Sunan dengan semangat yang berapi-api.”
“ Siap baginda yang mulia,” serentak prajurit menjawab.

Namun, tidak semuanya setuju dengan perintah baginda. Salah satunya gundik pertama sunan. Diam-diam, ia merasa perbuatan Sunan sudah melampaui batas. Penderitaan dan tekanan batin selama melayani sunan membuatnya berontak.
“Aku harus lebih dulu ke dusun seberang memberi tahu kabar ini.  Putri pinang masak harus tahu agar tidak merasakan nasib yang sama sepertiku. Dulu, ketika aku masih muda, sunan sangat baik kepadaku. Tetapi ketika tubuhku tidak semolek gundik-gundik yang lain karena telah dimakan usia. dia semena-mena memperlakukan aku, inilah saatnya aku harus berbuat agar sunan merasakan persaan yang sakit sepertiku apabila dicampakkan,”  dalam hati gundik pertama sunan menyusun siasat.

Sebelum Sunan memerintahkan prajurit untuk membawa hadiah sebanyak-banyaknya agar dipersembahkan kepada putri pinang masak. Gundik pertama sunan sudah lebih dulu menyelinap pergi untuk menemui putri pinang masak dan menceritakan maksud Sunan.

Sebelum pengawal datang ke tempat putri pinang masak. Sang putri sudah lebih mengetahuinya dari gundik pertama Sunan. Putri sangat besedih hati dan gunda gulana. Dia menyangka inilah kecemasan yang selalu menghantui dirinya. Putri bermuram durja, mengurung diri di dalam kamarnya bersama ke tiga pembantu setianya. Mereka berpikir bagamana caranya dapat terhindar dari mala petaka ini.

“Juru tepak, juru pedang, dan juru payung, Ini adalah musibah yang tak dapat aku tolak lagi. Inilah takdir yang harus kujalani. Tetapi aku tidak akan menerima takdir ini begitu saja. Lebih baik mati dari pada jadi gundik Sunan,” teriak putri pinang masak dengan tegar.

“Putri, kami sangat berduka atas musibah ini, bagaimana caranya menghindar dari perintah Sunan! Ini sangat berat, kekuasaan Sunan sudah terkenal sampai ke negeri seberang, apa lagi sunan  mempunyai pengawal dan prajurit yang gagah berani.” ujar juru tepak dengan perasaan cemas bukan kepalang.
Semua keluarga putri beserta pembantu setianya mulai berpikir untuk menggagalkan niat sunan. Setelah sekian lama putri merenung….

“Juru tepak, juru payung, dan kau juru pedang, tolong kau cari jantung pisang di hutan sebanyak-banyaknya .”
“untuk apa putri?”
“jangan banyak bertanya, carikan jantung pisang segera. Kita tidak punya banyak waktu lagi,”

Rupanya putri mempunyai tipu muslihat untuk mengelabui Sunan. Setelah jantung pisang dikumpulkan oleh para pengawal setianya. Bersama-sama pembantunya putri memasak jantung pisang tersebut. Kemudian airnya dimandikan ke tubuh putri pinang masak. Tubuh molek berkuning langsat  dan paras cantik  putri pinang masak seketika berubah menjadi hitam pekat karena air rebusan jantung pisang. Badan putri terlihat sangat kotor dan menjijikan. Para pembantu beserta keluarga pun sangat terkejut, bahkan hampir tidak mengenali putri piang masak. Lalu putri pinang masak mengurung dirinya di dalam kamar sebelum utusan Sunan menjemput.
“Perhatian seluruhnya, kami akan menjemput putri pinang masak!” teriak pemimpin rombongan prajurit  Sunan.

Para pempantu beserta keluarga putri pinang masak terlihat gugup. Semua khawatir kalau terjadi pertumpahan darah. Prajurit memaksa masuk dan membuka kamar putri. Betapa terkejutnya, pengawal sungguh tidak percaya apa yang dilihatnya. Mereka jadi heran dan ragu untuk membawa putri kehadapan sunan. Apa benar ini putri yang kecantikannya tak tergambarkan dan mengemparkan seluruh negeri. Tetapi karena perintah Sunan adalah perintah yang tidak boleh dilanggar. Apa pun kemauan Sunan harus dilaksanakan. Kalau tidak Sunan akan murka. Lalu, prajurit tetap membawa Putri pinang masak untuk dipersembahkan kepada Sunan.

Hampir terjadi pertumpahan darah. Pembantu setia putri pinang masak mencoba menghalang-halangi prajurit.
“Biarkan mereka membawaku juru tepak, ini sudah takdirku.” Perintah Putri pinang masak kepada pembantu-pembantunya.
“tetapi putri…., kami rela mengorbankan nyawa kami untuk tuan putri.” Sergah juru pedang.
“Sudahlah. Aku tidak mau musibah ini mengorbankan lebih banyak orang lain, apa lagi kalian sudah kuanggap seperti saudaraku. Kalian tunggulah di rumah, bantulah aku dengan doa.”

Rombongan prajurit Sunan membawa putri ke kerajaan. Setiba di kerajaan,  betapa terkejutnya sunan melihat wajah Putri Pinang Masak yang dikabarkan pengawalnya sangat cantik. Berbeda jauh dalam angan dan khayalan sunan. Melihat kenyataan ini, sunan menjadi murka. Seketika itu juga tanpa berpikir panjang sunan mengusir putri pinang masak secara kasar.

“Wahai kau putri yang buruk rupa, tak pantas kau menjadi gundikku, sekarang juga kau tinggalkan kerajaan ini. Jijik aku melihat muka dan tubuhmu yang kotor itu.” Sunan mencaci maki putri tanpa rasa hormat sedikit pun.
Dengan bergegas putri pinang masak meninggalkan istana. Dengan hati gembira bahwa tipu muslihat yang dijalankannya dapat terlaksana dengan sempurna. Sesampai di rumah, bukan main para pembantu dan kelurga sangat senang dan bersuka cita  melihat tuan putri kembali.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Tipu muslihat putri pinang masak ternyata di ketahui Sunan setelah beberapa hari putri di usir dari kerajaan. Sunan merasa tertipu. Dia semakin tergila-gila untuk memiliki putri pinang masak. Timbul hasrat, dia sendiri yang akan turun tangan menyelidiki kecantikan putri pinang masak yang sebenarnya. Setelah berhari-hari sunan beserta pengawalnya menyelidiki putri pinang masak. Barulah Sunan meyakini bahwa benar putri pinang masak seorang gadis cantik  yang tidak tertandingi. Sunan murka, dia memerintahkan hulu balang dan beberapa pengawal agar dengan paksa menangkap Putri Pinang Masak dan membawanya ke kerajaan.

Adapun berita kemurkaan Sunan, sampai juga ke telinga Putri pinang masak. Betapa sedihnya putri mendengar kemurkaan Sunan. Putri mendekati para pembantu setianya untuk berunding bagaimana siasat selanjutnya untuk terbebas dari belenggu Sunan.
“Tidak ada jalan lain, tuan putri. Kita harus melarikan diri dari desa ini. Kita tidak akan mampu melawan Sunan.” Ujar juru tepak!
“Benar sekali, apa lagi Hulu Balang Sunan terkenal dengan kekuatan dan ilmu yang sangat tinggi.” Timpal juru pedang.

“putri…jangan sampai terlambat, ayo kita jangan menunggu lagi. Kita tinggalkan tempat ini.” Sambil memegang tangan putri untuk bergegas.
Rombongan tuan putri mulai menyiapkan perbekalan untuk bekal dalam pelarian. Ketika malam hari, mulailah rombongan meninggalkan desa. Melawati jalu sungai dengan menggunakan perahu. Berhari-hari rombongan menyusuri sungai untuk menjauh dari cengkraman Sunan. Semakin jauh, hingga terdampar di Lebak Meranjat. Mereka terus mengikuti arus sungai yang semakin deras. Pada sebuah teluk, perahu rombongan tuan putri merapat dan singgah.

“Tuan putri sepertinya kita sudah sangat jauh meninggalkan desa ulu,  ada baiknya kita singgah di teluk ini untuk beristirahat.”ujar juru tepak.
“Baiklah, sepertinya perbekalan kita juga sudah mulai habis, kita harus mencari perbekalan untuk melanjutkan perjalanan kita nanti.” Jawab Putri Pinang Masak sambil mengusap dahinya melawan terik matahari.

Kedatangan Putri Pinang Masak mulai diketahui penduduk di sekitar teluk, semakin hari, semakin ramai tempat yang didiami. Putri  berbaur dengan penduduk disekitar teluk. Penduduk mengenal putri pinang masak dengan nama “Senuro” karena putri pinang masak menyamarkan namanya agar keberadaannya tidak diketahui penduduk seberang terutama Sunan.

Kecantikan memang tak dapat ditutupi, di tempat ini pun Senuro selalu menjadi incaran pemuda-pemuda desa. Terutama anak-anak pembesar desa. Senuro hidup bersosialisasi dengan para penduduk dan gadis-gadis desa. menjadi sosok gadis yang terkenal ramah dan suka membantu. Senuro dan para pembantunya yang setia mengajarkan kerajianan tangan, anyam-anyaman dan membuat perkakas dapur. Dan yang paling  terkenal kepintaran Senuro adalah membuat anyaman berbentuk bakul yang tak tembus dengan air.

Dari kediaman Senuro, tidak berapa jauh. Tinggalah seorang pemuda dari Palembang. Pemuda ini bernama Abdul Hamid, dengan gelar Sang Sungging. Pemuda yang pernah menjadi prajurit di Palembang ini adalah seorang ahli dalam pertukangan.

Di pinggir sungai mereka bertemu, saat keduanya hendak mengambil air. Desir darah seolah berhenti. Mereka saling pandang sejenak tak berkata-kata . Mata keduanya tak berkedip. Deru angin dan gemercik sungai seperti berhenti dan mematung memberi ruang kosong untuk pertemuan mereka. tetapi tidak dengan hati keduanya. Dari mata dan perasaan, mereka seolah berbicara langsung.

Sejak pertemuan itu keduanya semakin akrab dan intim. Senuro merasakan perasaan  yang berbeda.  Dia sangat bahagia dan senang apabila dekat dengan sang sungging. Kebahagian itu tergambar diraut wajah sang putri. Pemuda yang gagah dan tampan ini pun tak segan memberi perlindungan terhadap Senuro. Mereka saling mengisi suka dan duka bersama. Mulailah tumbuh benih-benih cinta diantara keduanya.

Hujan sangat lebat, hingga senja belum juga redah.  Selain angin yang bertiup terasa aneh, udara kecut, dan kesepian yang bungkam, petir dan kilat menyambar  saling bersahut-sahutan. Sudah sebulan Sanuro terbaring di tempat tidur. Sejak kepergian Sang Sungging ke palembang untuk mencari obat. Sakitnya semakin parah, semakin mendera. Sanuro mengidap penyakit langka. Di duga penyakitnya di guna-guna oleh pemuda-pemuda yang tak mampu mendapatkan cintanya.

“Putri bersabarlah, kau akan segera sembuh, putri pasti kuat,” juru tepak, juru payung, dan juru pedang setia menunggui  putri. Sambil sesekali mengusap air mata yang terus mengalir.
“Ingat pesanku, cobalah untuk tidak meneteskan air mata juru tepak. Kaum wanita harus kuat dalam menghadapi setiap persoalan, iklhlaskan saja apa yang terjadi.” Suara parau dan sesak masih sempat meluncur dari mulut Sanuro.

Dengan sisa-sisa tenaga Sanuro berwasiat kepada pembantu setianya. Karena  merasa dirinya tak akan lama lagi hidup di dunia.
“Aku Ingin bermunajad kepada Tuhan agar anak cucuku di kemudian hari jangan di anugerahkan kecantikan yang tiada banding sepertiku. Karena kecantikan itu akan mendatangkan penderitaan tiada berkesudahan sepertiku.”

Setelah mengucapkan itu putri pinang masak menghembuskan nafas terakhir. Pembantu dan pengawalnya bertekad untuk tetap berdiam di desa sampai ajal menjemput mereka, hingga mereka meminta untuk dikuburkan disamping Putri Pinang Masak kepada penduduk.




Sumber : klipingkitaterbaik

Cerita Rakyat Riau - Penghulu Tiga Lorong



Pada zaman dahulu ketika ibukota Kerajaaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa, dan mahir menggunakan senjata. Mereka hidup rukun dan saling membantu disuatu tempat bernama Batu Jangko.

Pada suatu hari, mereka pergi mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ketempat lain, tiga bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap ditempat tersebut.

Sementara itu diistana, Raja Indragiri sangat resah karena Datuk Dobalang yang berkuasa dinegeri Sibuai Tinggi bertingkah laku semena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri kemudian memanggil Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk menaklukkan Datuk Dobalang.

Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga Akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan tiga bersaudara yaitu Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri sudah mendengar kehebatan ketiga bersaudara tersebut, dan bermaksud meminta bantuan mereka untuk mengalahkan Datuk Dobalang. Maka dimintanya tiga bersaudara tersebut pergi menghadap Raja di Pekan Tua.

Ketiga bersaudara pergi menghadap Raja Indragiri. Mereka menyanggupi permintaan Raja Indragiri untuk mengalahkan Datuk Dobalang. Sebagai bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertahtakan intan dengan tulisan Muhammad. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa.

Setelah Raja memenuhi semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah tiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh 12 orang. Setiba diSibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam.

Dalam persabungan itu, Datuk Dobalang mengajukan empat pantang larang:
1. Dilarang bersorak dan bertepuk tangan.
2. Dilarang memekik atau berteriak dan menghentak tanah.
3. Dilarang menyingsingkan lengan baju.
4. Dilarang memutar keris didepan.

“Siapa saja yang melanggar peraturan itu dianggap kalah.” Kata Datuk Dobalang dengan pongahnya.

Datuk Dobalang memberikan taruhan tanah Inuman disebelah kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi. Tiga bersaudara pun memberikan taruhan tanah Koto Siambul disebelah kiri Sungai Indragiri, lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi. Inilah kecerdikan tiga bersaudara, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai Tinggi, sehingga sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa menyadari kebodohannya.

Sabung ayam dilaksanakan pada hari ketiga. Semua penduduk berkumpul digelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Ayam milik Datuk Dobalang dan Tiga Bersaudara itu pun berlaga dengan seru. Dalam persabungan itu, ayam Tiga Bersaudara terkena kelepau hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bertepuk tangan, bahkan memekik dan menghentak tanah. Semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.

Tiga Bersaudara segera mengingatkan Datuk Dobalang bahwa siapa pun yang melanggar peraturan harus di anggap kalah. Namun Datuk Dobalang tidak peduli. Dia bahkan menjadi berang dan menyerang Tiga Bersaudara dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Senjata yang mereka minta dari Raja Indragiri dikeluarkan, dan pusaka-pusaka sakti itu membuat Datuk Dobalang tewas jatuh tersungkur ketanah.

Jasad Datuk Dobalang selanjutnya dimasukkan kedalam peti dan dibawa kehadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Dia meminta Tiga Bersaudara untuk menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota tidak meminta uang, emas, ataupun harta benda yang lain.

“Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup.” Kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.

Selama delapan hari Raja dan para menteri serta orang-orang tua yang bijak mengadakan rapat untuk membicarakan permintaan Tiga Bersaudara. Mereka berpikir keras mencari apa yang dimaksud oleh orang tiga beradik tersebut. Atas petunjukTuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan oleh tiga beradik tersebut adalah pangkat.

Ketiga kakak beradik tersebut selanjutnya diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghlu Pematang lawan Batanghari dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.

Atas anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah.
Tiada boleh akal buruk, budi merangkak
Menggunting dalam lipatan
Memakan darah didalam
Makan sumpah 1000 siang 1000 malam
Keatas dak bapucuk
Kebawah dak baurat
Dikutuk kitab Al-Qur’an 30 juz

Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai,serta menjalankan syariat agama yang taat.




Sumber : munamaku20

Cerita Rakyat Riau - Pangera Sutan Dan Raja Bayang



Di Riau pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Indragiri. Awal berdirinya kerajaan ini tidak dapat dipastikan. Namun, awal pemerintahan kerajaan Indragiri dapat diketahui dari raja pertama yang memerintah yaitu Raja Kecik Mambang atau Rajan Merlan I (1298-19337 M). Kerajaan Indragiri berdiri selama 6 abad (1298 – 1945 M). Selama periode tersebut, telah berkuasa 25 orang raja/sultan. Sultan Hasan Salehuddin Keramatsyah adalah salah seorang di antaranya. Ia merupakan Sultan Indragiri ke-13 dan memerintah pada tahun 1735-1765 M., yang berkedudukan di Japura.

Konon, pada masa itu, Sultan Hasan memiliki seorang putri yang sangat cantik, bernama Raja Halimah. Kecantikan Putri Raja Halimah masyhur sampai ke berbagai negeri. Pada suatu hari, datanglah seorang raja yang bernama Raja Bayang, berasal dari sebuah negeri yang sangat jauh ingin melamar Raja Halimah. Namun, lamaran tersebut ditolak oleh Sultan Hasan, sehingga Raja Bayang memorak-porandakan Kerajaan Indragiri. Sultan Hasan beserta keluarga dan seluruh pasukannya terpaksa mengungsi ke Gaung. Dalam pengungsiannya, Sultan Hasan mendengar kabar bahwa ada seorang pangeran yang memiliki pengalaman berperang dari negeri Jambi, 

Pangeran Suta namanya. Ia pun segera mengundang Pangeran Suta untuk diajak berunding tentang bagaimana cara mengusir Raja Bayang dan pasukannya dari negeri Indragiri. Bagaimana perundingan antara Sultan Hasan dan Pengaren Suta? Bersediakah Pangeran Suta membantu Sultan Hasan untuk mengusir Raja Bayang dan pasukannya? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita rakyat Kisah Pangeran Suta dan Raja Bayang

Alkisah, pada suatu masa Kerajaan Indragiri diperintah oleh Sultan Hasan Salehuddin Keramatsyah yang berkedudukan di Japura. Sultan Hasan adalah seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Selama masa pemerintahannya, seluruh rakyat negeri hidup damai, aman dan sentosa. Selain adil dan bijaksana, ia juga memiliki seorang putri yang cantik jelita, bernama Raja Halimah. Kecantikannya pun terkenal hingga ke berbagai negeri.

Pada suatu hari, datanglah seorang anak raja yang bernama Raja Bayang ke Kerajaan Indragiri. Ia didampingi oleh tiga orang saudara laki-lakinya yang bernama Raja Hijau, Raja Mestika, dan Raja Lahis. Keempat anak raja itu datang lengkap dengan pengiring dan balatentara yang gagah perkasa.

Kedatangan mereka membuat gempar rakyat negeri Indragiri. Perilaku mereka sungguh tercela dan tidak senonoh. Mereka memorak-porandakan kampung-kampung di negeri itu. Tanaman tebu dan pisang semua habis mereka tebas dengan golok. Binatang-binatang ternak penduduk seperti ayam, itik, kambing dan kerbau lari berhamburan keluar dari kandang. Anak-anak dara berkerubung kain sarung tidak berani keluar rumah. Mereka takut pada keberingasan Raja Bayang dan pasukannya yang bertindak semema-mena.

Sultan Hasan sangat sedih dan risau mendengar kekacauan yang ditimbulkan oleh Raja Bayang dan balatentaranya. Dipanggilnyalah seluruh menteri kerajaan untuk bermusyawarah menghadapi bahaya yang datang mengancam. “Wahai, para menteriku! Bagaimana kita menghadapi kekuatan Raja Bayang dan balatentaranya?” tanya Raja Hasan kepada para menterinya. “Ampun, Baginda Raja! Pasukan Raja Bayang terlalu kuat untuk kita lawan. Mereka sangat tangguh dan sudah terbiasa hidup dalam rimba,” jawab salah seorang menteri sambil menyembah. “Benar, Baginda! Sebaiknya kita tunggu apa yang dikehendaki oleh anak raja itu,” tambah menteri yang lainnya. “Baiklah, kalau begitu!” jawab sang Raja dengan tenang.

Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Raja Bayang di Japura. Meskipun Raja Hasan merasa jengkel kepada Raja Bayang yang telah membuat kekacauan itu, Raja Hasan tetap menyambutnya dengan sopan. “Hai, Raja Bayang! Apa maksud kedatanganmu ini?” tanya Raja Hasan. “Aku ke sini untuk meminang Putrimu,” jawab Raja Bayang dengan angkuhnya. Pinangan Raja Bayang ditolak mentah-mentah oleh Raja Hasan. “Wahai, Raja Bayang! Ketahuilah! Aku tidak ingin bermenantukan anak seorang raja sepertimu. Kamu datang ke wilayah kekuasaanku dengan cara sembrono. Aku tidak rela putriku yang lemah lembut itu bersanding dengan kamu yang kasar dan tak mengenal adab.”

Raja Bayang sangat marah mendengar jawaban itu. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah bak terbakar api. “Hai, Raja Bodoh! Kamu akan menyesal karena telah menolak pinanganku,” ancam Raja Bayang lalu pergi meninggalkan istana Japura.
Tak berapa lama, Raja Bayang kembali bersama balatentaranya dengan persenjataan lengkap. Kemudian mereka menyerang Kerajaan Indragiri. Tak ayal lagi, Kerajaan Indragiri diporak-porandakan dalam waktu yang singkat. Walaupun Raja Hasan telah mengerahkan seluruh pasukan Kerajaan Indragiri, mereka tidak mampu menandingi kekuatan pasukan Raja Bayang. Oleh karena itu, Raja Hasan dan pasukannya terpaksa meninggalkan Japura, menyingkir ke suatu tempat yang bernama Gaung.
Dalam pengungsian itu, Raja Hasan mengumpulkan para menterinya untuk merebut kembali Kerajaan Indragiri dari tangan Raja Bayang.

 “Ampun, Baginda! Prajurit istana banyak yang tewas dalam pertempuran. Kekuatan kita semakin sedikit,” kata seorang menteri.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Raja Hasan.
“Ampun, Baginda Raja! Hamba pernah mendengar bahwa ada seorang pangeran dari negeri sebelah timur yang baik kelakuannya dan telah berjasa kepada negeri Jambi. Mengenai kemampuannya, sudah tidak diragukan lagi. Banyak sudah laut yang ia layari, pulau yang ia singgahi, daratan yang ia jelajahi, dan luka badan yang ia rasai dari medan pertempuran,” jelas seorang menteri yang lain.
“Siapa namanya?” tanya Raja Hasan penasaran.

“Ampun, Baginda! Hamba tidak tahu persis namanya. Tapi, orang-orang menyebutnya Pangeran Suta,” jawab menteri itu.
Setelah melakukan perundingan, akhirnya mereka sepakat untuk mengutus Datuk Tumenggung mencari Pangeran Suta. Keesokan harinya, usai berpamitan pada Raja Hasan, berangkatlah Datuk Tumenggung dengan sebuah kapal kecil dan Gaung berlayar ke laut lepas. Setelah berhari-hari berlayar, sampailah ia di perairan Jambi. Di sana ia mendapat keterangan bahwa Pangeran Suta sedang berada di Selat Malaka mengusir gerombolan lanun atau bajak laut.

Beberapa kali Datu Tumenggung berlayar mengitari Selat Malaka untuk mencari Pangeran Suta. Akhirnya pada suatu hari, ia berhasil menemuinya. Ia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapi rajanya. “Hai, Pangeran Suta! Kami sudah mendengar tentang kehebatan Pangeran. Raja kami mengharap kesediaan Pangeran untuk membantu raja kami,” kata Datuk Tumenggung. “Baiklah, saya bersedia untuk membalas malu yang telah ditanggung rajamu itu,” jawab Pangeran dengan ramah. Setelah Pangeran Suta menyatakan kesediaannya, berangkatlah Datuk Tumenggung dan Pangeran Suta besarta pasukannya ke Gaung.

Sesampainya di Gaung, Sultan Hasan menyambut Pangeran Suta dengan sangat gembira. Setelah menjamu sebaik-baiknya, Sultan Hasan dan menteri-menterinya melakukan perundingan dengan Pangeran Suta.

Keesokan harinya, Pangeran Suta mulai mempersiapkan alat-alat perang. Ia juga melatih prajurit Indragiri, hingga mereka yang semula berkecil hati karena menderita kekalahan, kembali bersemangat. Pasukan Pangeran Suta yang sudah terlatih dalam perang baik di darat maupun di laut segera menduduki Sungai Indragiri. Selanjutnya pasukan tersebut mendarat dan bersama-sama dengan prajurit Indragiri berangkat menuju Japura.

Pertempuran sengit pun terjadi, karena dua kekuatan yang sama-sama tahan uji berlaga dengan sekuat tenaga. Pertempuran itu berlangsung selama beberapa hari. Pasukan Raja Bayang mulai kewalahan. Banyak di antara balatentaranya yang tewas dan luka-luka. Alat-alat perang mereka pun rusak berantakan. Raja Bayang dan ketiga saudaranya mundur ke pedalaman. Walaupun Raja Bayang dan balatentaranya sudah mundur ke hutan, Pangeran Suta tetap memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka.

Pasukan Raja Bayang kocar-kocir tak tentu arah. Mereka terus diburu oleh pasukan Pangeran Suta. Akhirnya mereka pun kehabisan bekal makanan, kehilangan senjata dan tenaga. Balatentara yang terluka pun semakin parah. Keberanian mereka telah surut tanpa bekas.

Keempat anak raja yang sombong itu kemudian pulang ke negerinya menempuh perjalanan jauh dengan menanggung rasa malu karena kekalahan yang sangat besar.
Pasukan Pangeran Suta segera kembali ke Japura. Utusan pun dikirim Gaung untuk menjemput Sultan Hasan kembali ke istana Japura. “Wahai, Pangeran Suta! Oleh karena engkau telah berjasa terhadap negeri ini, maka sebagai balasannya, aku nikahkan engkau dengan putriku, Raja Halimah,” kata Raja Hasan kepada Pangeran Suta. “Terima kasih, Baginda Raja!” jawab Pangeran Suta dengan senangnya.
Seminggu sebelum pesta pernikahan dimulai, seluruh rakyat negeri tampak sibuk. Mereka sibuk membersihkan, memperbaiki dan menghias istana dengan aneka umbul-umbul. Jalan-jalan mereka rapikan, taman-taman mereka hijaukan, dan lapangan pun dipersiapkan untuk aneka pertunjukan dalam acara penikahan Pangeran Suta dan Raja Halimah. Setelah itu Pangeran Suta dinobatkan sebagai Raja Japura. Maka lengkaplah kebahagian mereka. Rakyat negeri pun kembali aman, damai dan makmur.


Sumber : histori.id


Cerita Rakyat Riau - Si Bujang ( Asal Mula Burung Punai )



Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik si Bujang. Setiap hari sang 

Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan Bujang.

Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu.

Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang ia dijemput oleh emaknya.
Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang.

Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu.

Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan, “Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing?” Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk.

Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya. “Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing?” ujar sang ayah.
Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan mengatakan, “kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.”

Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya, “Barangkali inilah resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan saja, tidak usah kita hiraukan.” Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang.

Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.

Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi:

Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu bulu tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu. 

Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor Burung Punai. Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap, kemudian ia terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik menyiangi rumput. Ia pun bernyanyi:

Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu, ibu Bujang berkata kepada suaminya, “Bang, coba dengarkan suara burung yang bernyanyi di atas pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang.” Ayah Bujang langsung berdiri dan menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya telinganya baik-baik untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara anaknya.

Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah Bujang pun yakin bahwa itu adalah suara Bujang. “Benar, Adikku! Itu suara anak kita,” kata sang Ayah dengan yakin.
Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang. “Nak, kemarilah! Ini nasi… !” Dari atas pohon kayu ara itu, burung punai itu menjawab, “Tidak, Emak…! Saya sudah menjadi Burung Punai. Saya makan buah kayu ara.” Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan buah ara dari satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat nasib anaknya itu. Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang lain. Kemudian ia bernyanyi lagi.
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

“Kemarilah, anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu!” bujuk emaknya agar si Bujang yang telah menjadi Burung Punai itu mau mendekat. “Tidak, Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara,” jawab Burung Punai itu menolak ajakan emaknya.

Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah Bujang menebang pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi dengan nada dan lagu yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang pohon tempat ia hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan kemudian benyanyi.
Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah habis. Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena sudah berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di dalam hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai selama-lamanya.


Sumber : klipingkitaterbaik